Minggu, 08 Juli 2012

MAKALAH MASALAH PENDIDIKAN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta bertanggung jawab.Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
 Sistem pendidikan Indonesia  yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang ini, teryata masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan global untuk masa yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kulitas pendidikan yang selama ini menjadi focus pembinaan masih menjadi masalah yang menonjol dalam dunia pendidikan di Indonesia ini.
Sementara itu jumlah penduduk usia pendidikan dasar yang berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih banyak jumlahnya, dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan berbagai masalah internal yang mendasar dan bersifat komplek, selain itu pula bangsa Indonesia ini  masih menghadapi sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan mendasar sampai pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh yang di harapkan, menurut hasil penelitian The political and economic rick consultacy (PERC) medio September 2001, dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia ini berada di urutan 12 dari 12 negara di asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam, dan berdasarkan hasil pembangunan  PB (UNDP) pada tahun 2000, Kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara.
Nah upaya untuk membagun SDM yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya di butuhkanya partisipasi yang strategis dari berbagai komponen yaitu : Pendidikan awal di keluarga , Kontrol efektif dari masyarakat, dan pentingnya penerapan sistem pendidikan pendidikan yang khas dan berkualitas oleh Negara.

B.   Tujuan Makalah
      Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
      Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
UU Sistem Pendidikan No.20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 7 “Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.”
            Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan lima misi yang biasa disebut lima (5) K, yaitu; ketersediaan layanan pendidikan; keterjangkauan layanan pendidikan; kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; kesetaraan memperoleh layanan pendidikan; kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.

ü  Mengetahui Pengertian Pendidikan
ü  Mengetahui Sistem Pendidikan Indonesia
ü  Mengetahui Jalur Pendidikan Indonesia
ü  Mengetahui Arah Pendidikan Indonesia
ü  Mengetahui Masalah Pendidkan Indonesia
ü  Mengetahui Tujuan Pendidikan Indonesia

C.   Rumusan Masalah
ü  Apa yang dimaksud dengan pendidikan?
ü  Bagaimana sistem pendidikan indonesia?
ü  Kemana arah pendidikan indonesia saat ini?
ü  Bagaimana saja jalur  pendidikan indonesia?
ü  Apa saja masalah  dalam pendidikan indonesia?
ü  Apa saja tujuan pendidikan indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Pendidikan
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Namun banyak pula cendikiawan yang mendefinikan pendidikan dengan kalimat yang lain, berikut diantaranya:
o   Ki Hajar Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
o   John Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
o   J.J. Rousseau Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
o   Langeveld Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.

B.   Sistem Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.
Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.

C.   Jalur Pendidikan
Jalur Pendidikan dijelasnan dalam Undang-Undang sebagai berikut :
UU Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab VI Pasal 1 dan 2
1)    Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
2)    Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan dengan system terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
UU Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab I Pasal 1 ayat 11 “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.”  UU Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab I Pasal 1 ayat 12 “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.” UU Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab I Pasal 1 ayat 13 “Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.”
1)    Pendidikan formal
Pendidikan formal yang disebut juga dengan Pendidikan pesekolahan, yang sudah tidak asing lagi kita degar yaitu ;
a)    Pendidikan Dasar
o   Sekolah dasar  (SD), Madrasah ibtidaiyah ( MI )
o   Sekolah menegah pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah( Mts )
b)    Pendidikan Menegah
o   Sekolah menegah atas ( SMA )
o   Madrasah Aliyah ( MA )
o    Sekolah Menegah Kejuruan ( SMK )
o   Madrasah Aliyah Kejuruan ( MAK )
Mengenyam pendidikan pada pendidikan formal yang diakui oleh  lembaga pendidikan Negara adalah sesuatu yang wajib dilakukan diindonesia. Mulai dari kalangan yang miskin samnpai yang kaya itu harus bersekolah, minimal 9 tahun lamanya hingga lulus SMP.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efisien dari pemerintah untuk masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menjadi warga Negara.
c)    Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk:
o   Akademi
o   Politeknik
o   sekolah tinggi
o   institute / universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
2)    Pendidikan Nonformal
Pendudikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Contoh pendidikan nonformal yaitu :
o   Lembaga kursus
o   Lembaga penelitian
o   Kelompok belajar
o   Pusat kegiatan belajar masyarakat
Hasil pendidikan  nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian peyetaraan oleh lembaga yang ditunjukan oleh pemerintah atau pemerintahan daerah dengan mengacu pada setandar nasional pendidikan.
3)    Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

D.   Arah Pendidikan
Dunia pendidikan Indonesia dinilai telah kehilangan arah. Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.
Karena itulah, sejumlah pakar menilai pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Berangkat dari kondisi tersebut, sedikitnya 26 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Yogyakarta akan menggelar Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan 2012.
Menurut ketua panitia kongres, Dr Kunjana Rahardi, melalui kongres ini diharapkan bisa dirumuskan kembali prinsip-prinsip pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan yang memadai bagi pengembangan peradaban Indonesia di tengah globalisasi. "Pendidikan itu seharusnya memanusiakan manusia. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten menerapkan pendidikan yang nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik, yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter," kata Kunjana, Jumat (4/5/2012) di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Di tempat yang sama, Prof Sutaryo selaku ketua panitia pengarah mengatakan bahwa kongres ini bermula dari keprihatinan para pendidik di Yogyakarta, yang melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia telah kehilangan arah."Konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara saat ini telah mengalami kebekuan. Yang berkembang justru pendidikan dengan konsep dari Barat yang menjadikan manusia individualis dan serakah, yang tentunya tidak sesuai dengan bangasa kita," kata Prof Sutaryo. Kongres itu sendiri akan dilaksanakan tanggal 7-8 Mei, bertempat di Balai Senat UGM. Dari kongres itu diharapkan akan muncul sebuah rekomendasi yang bersifat filosofis, ideologis, kebijakan, dan aplikasi pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dan Pancasila. Selain menghadirkan Gubernur DIY Sultan HB X sebagai keynote speaker, kongres tersebut juga akan menghadirkan Prof Wiendu Nuryanti (Wamendikbud Bidang Kebudayaan), Prof Musliar Kasim (Wamendikbud Bidang Pendidikan), Prof Djoko Santoso (Dirjen Dikti), dan Dedy Gumilar (anggota Komisi X DPR), serta sejumlah tokoh lainnya.

E.   Masalah Pendidikan
Setidaknya ada tujuh permasalahan pendidikan kita. Yakni kebijakan pendidikan, pembiayaan pendidikan, fasilitas pendidikan, pemerataan pendidikan, kualitas guru dan dosen, perkembangan peserta didik, serta mutu pendidikan. Ketujuh permasalahan itu saling berhubungan, berikut klarifikasinya:
1)    Kebijakan Pendidikan
 Permasalahan mendasar kebijakan pendidikan nasional adalah upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Misalnya dengan otonomi pendidikan bagi kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Sehingga kampus itu berupaya menggalang dana dengan menaikkan uang kuliah. Otomatis, golongan menengah ke bawah semakin sulit mengecap pendidikan tinggi.
 Kemunculan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) juga menjadi mimpi buruk bagi orang miskin. Karena sekolah-sekolah ini memungut biaya yang bertarif internasional dari orang tua siswa. Lagi-lagi orang miskin tak bisa mengecap pendidikan di situ. Sebagai catatan, hingga 2010, terdapat 1.329 RSBI di Indonesia. Padahal kualitas sekolah itu masih sangat diragukan. Selain itu, kebijakan ujian nasional (UN) yang dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa penuh dengan sandiwara. UN yang diadakan sejak 2003 ini justru mengerdilkan visi pendidikan. Bagaimana tidak, dengan adanya UN sebagai penentu kelulusan, siswa hanya fokus berlatih menjawab soal-soal, bukan mengatasi persoalan. Dalam pelaksanaannya juga, praktik-praktik kecurangan (terpaksa) dilakukan secara terbuka sehingga siswa telah diajari melakukan kebohongan. Ini bertolak belakang dengan pendidikan karakter yang selalu didengung-dengungkan pemerintah

2)    Pembiayaan Pendidikan
Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat masyarakat kewalahan menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga banyak anak putus sekolah karena keterbatasan dana. Lihatlah, sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31, 05 anak SD putus sekolah setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Padahal sudah ada anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Namun, persoalannya, anggaran ini dikorupsikan dan penggunaannya tidak tepat sasaran.

3)    Fasilitas Pendidikan
Bagaimana pun juga, fasilitas sangat menentukan kualitas pendidikan. Bagi sekolah-sekolah/kampus elite di perkotaan, barangkali fasilitasnya sudah memadai. Tapi, tidak bisa dimungkiri masih banyak sekolah-sekolah/kampus yang tidak memiliki fasilitas yang memadai. Sebagai contoh, sebanyak 70 persen dari 12.000 SD swasta dan negeri di wilayah Sumatera Utara belum memiliki perpustakaan. Sangat memprihatinkan.

4)    Pemerataan Pendidikan
Pemerataan pembangunan tampaknya belum optimal. Pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur masih jauh ketinggalan dengan bagian Barat. Juga, kesenjangan pendidikan antara desa (pinggiran) dengan perkotaan terlihat jelas. Di daerah tertentu, masih ada kecamatan yang tidak memiliki SMA. Jangankan antara desa dengan kota, di perkotaan saja sangat jelas terlihat kesenjangan pendidikan

5)    Kualitas Guru Dan Dosen
Satu langkah baik ketika pemerintah berupaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Dikeluarkannya UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah maju. Hanya, ini bukan jaminan melahirkan guru dan dosen yang profesional. Buktinya, masih banyak keluhan dari berbagai pihak, soalnya guru dan dosen yang telah menerima sertifikat pendidik ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar yang baik.
Pendidikan merupakan sebuah sistem, dimana sub-sub sistemnya terdiri dari : Guru (Dosen), murid/mahasiswa, pemerintah, lembaga pendidikan dan orang tua. Dimana sub sistem utamanya adalah: Guru(Dosen), murid/mahasiswa dan lembaga pendidikan. Sedangkat sub sistem lainnya merupakan sub sistem pendukung. Teori sistem menyebutkan, apabila terganggu salah satu subsistemnya maka terganggu pula sistemnya. Kekuatan sebuah sistem terletak pada titik lemah sub sistemnya. Sekarang subsistem mana yang lemah atau yang masih bermasalah dalam sistem pendidikan kita? Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa subsistem yang terganggu terutama adalah guru (dosen) yang masih jauh dari harapan. Indonesia butuh tenaga pendidik, bukan tenaga pengajar.
Seorang pendidik pasti pengajar, tapi seorang pengajar belum tentu pendidik. Justru yang berkeliaran di lembaga lembaga pendidikan, mulai dari SD s.d. Perguruan Tinggi kebanyakan tenaga tenaga pengajar. Pengajar fokusnya hanyalah kearah kognitif, mengejar kecerdasan intelektual saja, sedangkan kecerdasan lain terabaikan, maka output pendidikan nasional kita hanyalah, manusia-manusia pintar, tapi tidak berakhlak, tidak mandiri, malas dan tak jujur. Artinya, orang pintar tapi tidak punya karakter. Kondisi ini tentu harus diperbaiki, harus dirubah dan yang paling utama diperbaiki adalah mutu guru (dosen). Sehebat apapun kurikulum dan program program pelatihan, jika guru dan instrukturnya tidak bermutu, maka hasilnya tetap saja tidak bermutu.
Menurut ahli pendidikan dan psikologi, justru jenjang pendidikan dasar, merupakan kunci dari keberhasilan proses pendidikan. Kalau pendidikan dasarnya kuat diyakini outputnya akan baik dan sebaliknya jika pendidikan dasarnya lemah tentu mutu outputnya akan lemah. Dinegeri negeri maju justru pada tingkat dasar ini yang menjadi perhatian serius, dimana guru guru nya, berpredikat master dan ada yang profesor. Saya masih ingat diperusahaan Caltex tahun 60an dan 70an, guru TK, SD dan SMP adalah para master dan ada yang profesor. Tentu di Indonesia belum demikian, masih gengsi, masa master mengajar di TK dan SD. Pertanyaan sekarang adalah, sampai kapan kondisi pendidikan kita khususnya kualitas guru dan dosen masih seperti ini? Kesannya kita tidak serius membenahinya, walaupun pemerintah selalu mengatakan sedang kita benahi dengan program program yang melangit, tidak membumi. Mari kita serius, dengan niat baik memperbaiki citra pendidikan kita pada umumnnya melalui langkah utamanya adalah membenahi guru dan dosen. Jangan sembarangan menerima guru dan dosen, harus selektif dan yang betul betul berjiwa pendidik, bukan hanya pengajar.

6)    Perkembangan Peserta Didik
Banyak peserta didik yang menganggap sekolah adalah penjara. Bukan tidak punya alasan, kebanyakan siswa tersebut merasa tidak bebas di dalam sekolah karena mereka mendapatkan tekanan psikologis dan fisik. Ruang berkreativitas tertutupi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang menekan. Dalam pengajaran juga, komunikasi satu arah (monologis) membuat siswa bosan karena suasana belajar tidak menggairahkan. Keadaan yang seperti ini sudah pasti memengaruhi perkembangan peserta didik.

7)    Mutu Pendidikan
Tidak sedikit siswa dan mahasiswa Indonesia yang memenangi olimpiade internasional. Selain itu, dalam pelaksanaan UN, semakin tinggi angka kelulusan siswa. Mungkin pemerintah bias saja mengklaim bahwa itu prestasi yang membanggakan. Tapi itu tidak bias dijadikan parameter mengukur mutu pendidikan kita.  Bila dibandingkan Malaysia, pendidikan kita sudah jauh ketinggalan. Negara yang pernah berguru dengan Indonesia tahun 1970-an ini, kini menjadi guru. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia pun belajar ke sana. Kemajuan pendidikan di Malaysia tidak terlepas dari tujuan pendidikannya yang jelas dan terarah, dikenal dengan rumusan Malaysia Vision 2020 yang dirumuskan sejak 1980-an. Lantas, bagaimana dengan tujuan pendidikan kita? Sepertinya kabur dan tak terarah.
Faktor – faktor yang mepengaruhi mutu pendidikan  di indonesia:
o   Pembelajaran Hanya Pada Buku Paket
Di Indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber refrensi lain sebagai acuan belajar.
o   Pembelajaran Dengan Metode Ceramah
Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya
o   Kurangnya  Sarana Belajar
Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup. Pemerintah yang semangat memberikan pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan hanya berupa Ocehan belaka.
o   Peraturan Yang Terlalu Mengikat
Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya
o   Guru Tidak Menanamkan Soal “Bertanya”
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
o   Metode Pertanyaan Terbuka Tidak Dipakai
Salah satu ciri negara FINLANDIA yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Sedangkan Di Indoneisa? tidak mungkin, guru pasti sudah berfikir, “nanti banyak yang nyontek dong,” begitu kata seorang guru. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan guru sekarang.
o   Fakta Tentang Menyontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi. tapi, guru tidak akan lelah untuk memperingatkannya, Tapi apakah kalian tahu kalau “guru juga menyontek” ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang di ikuti guru, menyontek telah merasuki sosok guru. guru aja menyontek apalagi siswanya.

F.    Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan (Kemdiknas): "Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejalan dengan itu, pada periode 2010-2014, Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan visi Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif. Insan Indonesia cerdas komprehensif adalah insan yang cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Sebagai organisasi yang berkedudukan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar bertugas menjabarkan visi dan misi Kementerian Pendidikan Nasional di atas, baik saat perumusan dan atau pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pendidikan dasar. Dengan demikian, secara umum tujuan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar adalah Menjamin Terselenggaranya Layanan Pendidikan Dasar untuk Bangsa Indonesia secara Prima.













BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Di tengah kebobrokan dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian yang tanpa peduli sesama, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis religius menjadi relevan untuk diterapkan. Pendidikan karakter ala foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang dipelopori oleh filusuf Prancis Auguste Comte.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Kebanyakan guru hanya mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat peserta didik menjadi “beo” yang dalam setiap ujian cuma mengulangi apa yang dikatakan guru. Jika kita melihat sejarah, ternyata sikap pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dipengaruhi oleh gelombang budaya positivisme yang lahir dari rahim kapitalisme yang mengakibatkan terjadinya degradasi fakultas kritis para peserta didik. Akibatnya peserta didik hanya akan menerima apa adanya, tanpa reserve, dan tanpa kritik. Mirisnya lagi, dunia pendidikan kita masih sibuk berkutat dengan problematika internalnya seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sulit meratanya pendidikan, sistem pendidikan yang masih lemah, pendidikan dikomersialisasikan dan sebagainya.
Dunia pendidikan kita sepertinya telah melupakan tujuan utama pendidikan, karena dilihat dari semakin menyimpangnya dari tujuan pendidikan. Kita ketahui bahwa problematika pendidikan merupakan suatu kendala yang akan menghambat dan menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Kita ambil saja salah satu kebijakan yaitu sistem Ujian Nasional (UN); suatu kebijakan yang sudah menjadi kontroversi. Dengan adanya kebijakan bahwa tolak ukur kelulusan ditentukan hanya dari nilai UN tanpa melihat sebuah proses dan nilai lain, maka pendidikan telah dijadikan layaknya sebuah mesin yang hanya mencetak para peserta didik yang pintar tapi tidak bermoral dan pragmatis yang kemudian menjadi para penganggur. Sehingga, kebijakan UN ini sangat bertentangan sekali dengan wacana pendidikan berbasis karakter dan budaya.
Kemudian aksesibilitas pendidikan yang ternyata sangat sulit dilakukan hingga ke pelbagai pelosok di Indonesia. Menurut Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI), -sewaktu penulis berdiskusi dengan beliau pada hari kamis (3/5)- bahwa sulitnya pemerataan pendidikan disebabkan 2 kondisi; pertama, kondisi fisik Indonesia yang secara geografis mempunyai sekitar 17.000 pulau, sehingga aksesibilitas pendidikan sulit merata. Kedua, kondisi non fisik yang tentunya dilihat dari sistem pendidikan di Indonesia yang masih lemah. Banyak juga para pejabat dalam sektor pendidikan yang tidak dan bukan orang yang menguasai pendidikan. Sehingga kita bisa lihat faktanya, bahwa pendidikan kita telah keluar dari jalan yang sebenarnya bahkan kehilangan arah.
Jika kita lihat aksesibilitas pendidikan dari segi anggaran, yang faktanya banyak dana/anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran dan entah masuk ke rekening siapa. Faktanya, meskipun dibantu dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menjadi sebuah tindakan solusi emergency, masih banyak anak-anak miskin yang tetap tidak bisa mengenyam pendidikan dasar dikarenakan tetap mahalnya biaya lain, seperti seragam sekolah yang bermacam-macam yang harus dibeli dengan harga mahal, biaya buku dari sekolah yang mahal pula dan sebagainya. Meskipun di sisi lain dana pendidikan yang bayak dikorupsi, mungkin itulah yang menjadi kendala esensial krusial bagi anak-anak miskin di Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama. Yang mengejutkan lagi, anggaran pendidikan 20% dari APBN ternyata bukan hanya masuk pada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, melainkan masuk ke-18 kementerian. Karena masing-masing kementerian mempunyai kepentingan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

B.   Saran
o   Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus di tingkatkan lagi .
o   Kepada masyarakat agar ikut berpartisifasi dalam memajukan pendidikan di indonesia.
o   Kepada pemerintah diharapkan agar dalam pembuatan sistem pendidikan nasional ini hendaknya melibatkan pihak -  pihak yang dapat ikut dalam memajukan pendidikan nasional.











DAFTAR PUSTAKA
1.    Depdikbud. 1989. UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka.
2.    http://www.fajar.co.id/read-20120531231304-pemerataan-dan-keadilan-dalam-pendidikan
3.    http://superthowi.wordpress.com/2012/03/18/perkembangan-peserta-didik/
4.    file:///C:/Documents%20and%20Settings/Ulla/My%20Documents/Unduhan/digital_blob_F6847_Kualitas%20Guru%20dan%20Dosen%20di%20Indonesia.htm
7.    http://sanggarseo.blogspot.com/2011/11/kebijakan-pendidikan-indonesia-prosedur.html
8.    http://niesya07.wordpress.com/category/pembiayaan-pendidikan/
9.    http://kaukustujuhbelas.org/baca/13550/Kebijakan-Pendidikan-di-Indonesia.html?lang=id
10. http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/pembiayaan-pendidikan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar