BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokraris serta bertanggung jawab.Untuk mengemban fungsi
tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan
Indonesia yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang ini, teryata
masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan global untuk masa
yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kulitas pendidikan yang
selama ini menjadi focus pembinaan masih menjadi masalah yang menonjol dalam
dunia pendidikan di Indonesia ini.
Sementara itu jumlah penduduk usia pendidikan dasar yang
berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih banyak jumlahnya,
dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan berbagai masalah internal yang mendasar
dan bersifat komplek, selain itu pula bangsa Indonesia ini masih
menghadapi sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang
pendidikan mendasar sampai pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh yang di
harapkan, menurut hasil penelitian The political and economic rick consultacy
(PERC) medio September 2001, dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia
ini berada di urutan 12 dari 12 negara di asia, bahkan lebih rendah dari
Vietnam, dan berdasarkan hasil pembangunan PB (UNDP) pada tahun 2000,
Kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara.
Nah upaya untuk membagun SDM yang berdaya saing tinggi,
berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya di butuhkanya partisipasi yang
strategis dari berbagai komponen yaitu : Pendidikan awal di keluarga , Kontrol
efektif dari masyarakat, dan pentingnya penerapan sistem pendidikan pendidikan
yang khas dan berkualitas oleh Negara.
B. Tujuan
Makalah
Adapun
tujuan dari makalah ini yaitu:Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
UU Sistem Pendidikan No.20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 7 “Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.”
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan lima misi yang biasa disebut lima (5) K, yaitu; ketersediaan layanan pendidikan; keterjangkauan layanan pendidikan; kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; kesetaraan memperoleh layanan pendidikan; kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.
ü
Mengetahui
Pengertian Pendidikan
ü
Mengetahui
Sistem Pendidikan Indonesia
ü
Mengetahui
Jalur Pendidikan Indonesia
ü
Mengetahui
Arah Pendidikan Indonesia
ü
Mengetahui
Masalah Pendidkan Indonesia
ü
Mengetahui
Tujuan Pendidikan Indonesia
C. Rumusan
Masalah
ü
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan?
ü
Bagaimana
sistem pendidikan indonesia?
ü
Kemana
arah pendidikan indonesia saat ini?
ü
Bagaimana
saja jalur pendidikan indonesia?
ü
Apa
saja masalah dalam pendidikan indonesia?
ü
Apa
saja tujuan pendidikan indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara. Namun banyak pula cendikiawan yang mendefinikan
pendidikan dengan kalimat yang lain, berikut diantaranya:
o Ki Hajar Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
o John Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
o J.J. Rousseau Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada
pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
o Langeveld Pendidikan adalah setiap
usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju
kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa
(atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup
sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
B.
Sistem Pendidikan
Hari Pendidikan
Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi
momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan
bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003
yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa
sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Bila merujuk
pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa
setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Peran
masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam
perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan
pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak
dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003
disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini
hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses
pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang
terbuka dan partisipatif.
Kewajiban
pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih
sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang
belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk
pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN
maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat
4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar
diantara 2-5%.
Bila melihat
peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP
Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi
pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan
masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana
pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.
Sementara di
berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai
dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya
masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan
hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah
harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya
akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila
berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada
pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja.
Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat
peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas
ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan
masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri
yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem
pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung
mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun
cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam
rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu
bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung
saat ini.
Pendidikan juga
saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya
pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek
jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi
diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar,
telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin
membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi
mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin,
pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk
membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai
upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan
sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan
sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi,
daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem
pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan
keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan
menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak
kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak
bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis
sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam
keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan
terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi
dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia.
Hari Pendidikan
Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah
selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari
keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah
saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan
sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.
C.
Jalur Pendidikan
Jalur
Pendidikan dijelasnan dalam Undang-Undang sebagai berikut :
UU
Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab VI Pasal 1 dan 2
1) Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya.
2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 diselenggarakan dengan
system terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
UU
Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab I Pasal 1 ayat 11 “Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.”
UU Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab
I Pasal 1 ayat 12 “Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang.” UU
Sistem Pendidikan No.20 2003 Bab I Pasal 1 ayat 13 “Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan.”
1) Pendidikan formal
Pendidikan
formal yang disebut juga dengan Pendidikan pesekolahan,
yang sudah tidak asing lagi kita degar yaitu ;
a)
Pendidikan
Dasar
o
Sekolah
dasar (SD), Madrasah ibtidaiyah ( MI )
o
Sekolah
menegah pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah( Mts )
b)
Pendidikan
Menegah
o
Sekolah
menegah atas ( SMA )
o
Madrasah
Aliyah ( MA )
o
Sekolah Menegah Kejuruan ( SMK )
o
Madrasah
Aliyah Kejuruan ( MAK )
Mengenyam
pendidikan pada pendidikan formal yang diakui oleh lembaga pendidikan
Negara adalah sesuatu yang wajib dilakukan diindonesia. Mulai dari kalangan
yang miskin samnpai yang kaya itu harus bersekolah, minimal 9 tahun lamanya
hingga lulus SMP.
Sebagai lembaga pendidikan formal,
sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efisien dari pemerintah
untuk masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam menjadi warga Negara.
c) Pendidikan
Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Perguruan
tinggi dapat berbentuk:
o
Akademi
o
Politeknik
o
sekolah
tinggi
o
institute / universitas.
Perguruan
tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan
tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
2) Pendidikan Nonformal
Pendudikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Contoh
pendidikan nonformal yaitu :
o
Lembaga
kursus
o
Lembaga
penelitian
o
Kelompok
belajar
o
Pusat
kegiatan belajar masyarakat
Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian peyetaraan oleh lembaga yang
ditunjukan oleh pemerintah atau pemerintahan daerah dengan mengacu pada
setandar nasional pendidikan.
3)
Pendidikan
Informal
Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan.
D.
Arah Pendidikan
Dunia pendidikan Indonesia dinilai telah kehilangan arah.
Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang
hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan
karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia
yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.
Karena itulah, sejumlah pakar menilai pendidikan Indonesia
perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara,
yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik.
Berangkat dari kondisi tersebut, sedikitnya 26 perguruan tinggi baik negeri
maupun swasta di Yogyakarta akan menggelar Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan 2012.
Menurut ketua panitia kongres, Dr Kunjana Rahardi, melalui
kongres ini diharapkan bisa dirumuskan kembali prinsip-prinsip pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan yang memadai bagi pengembangan peradaban Indonesia
di tengah globalisasi. "Pendidikan
itu seharusnya memanusiakan manusia. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten
menerapkan pendidikan yang nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik,
yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan manusia
Indonesia yang berkarakter," kata Kunjana, Jumat (4/5/2012) di Balai Senat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Di tempat yang sama, Prof Sutaryo selaku ketua panitia
pengarah mengatakan bahwa kongres ini bermula dari keprihatinan para pendidik
di Yogyakarta, yang melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia telah
kehilangan arah."Konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara saat
ini telah mengalami kebekuan. Yang berkembang justru pendidikan dengan konsep
dari Barat yang menjadikan manusia individualis dan serakah, yang tentunya
tidak sesuai dengan bangasa kita," kata Prof Sutaryo. Kongres itu sendiri akan
dilaksanakan tanggal 7-8 Mei, bertempat di Balai Senat UGM. Dari kongres itu
diharapkan akan muncul sebuah rekomendasi yang bersifat filosofis, ideologis,
kebijakan, dan aplikasi pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia
dan Pancasila. Selain menghadirkan Gubernur DIY Sultan HB X sebagai keynote
speaker, kongres tersebut juga akan menghadirkan Prof Wiendu Nuryanti
(Wamendikbud Bidang Kebudayaan), Prof Musliar Kasim (Wamendikbud Bidang
Pendidikan), Prof Djoko Santoso (Dirjen Dikti), dan Dedy Gumilar (anggota
Komisi X DPR), serta sejumlah tokoh lainnya.
E.
Masalah Pendidikan
Setidaknya ada tujuh permasalahan pendidikan kita. Yakni
kebijakan pendidikan, pembiayaan pendidikan, fasilitas pendidikan, pemerataan
pendidikan, kualitas guru dan dosen, perkembangan peserta didik, serta mutu
pendidikan. Ketujuh permasalahan itu saling berhubungan, berikut
klarifikasinya:
1) Kebijakan Pendidikan
Permasalahan mendasar kebijakan pendidikan
nasional adalah upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap dunia
pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Misalnya dengan otonomi
pendidikan bagi kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara
(PT BHMN). Sehingga kampus itu berupaya menggalang dana dengan menaikkan uang
kuliah. Otomatis, golongan menengah ke bawah semakin sulit mengecap pendidikan
tinggi.
Kemunculan sekolah bertaraf
internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) juga
menjadi mimpi buruk bagi orang miskin. Karena sekolah-sekolah ini memungut biaya
yang bertarif internasional dari orang tua siswa. Lagi-lagi orang miskin tak
bisa mengecap pendidikan di situ. Sebagai catatan, hingga 2010, terdapat 1.329
RSBI di Indonesia. Padahal kualitas sekolah itu masih sangat diragukan. Selain
itu, kebijakan ujian nasional (UN) yang dijadikan sebagai penentu kelulusan
siswa penuh dengan sandiwara. UN yang diadakan sejak 2003 ini justru
mengerdilkan visi pendidikan. Bagaimana tidak, dengan adanya UN sebagai penentu
kelulusan, siswa hanya fokus berlatih menjawab soal-soal, bukan mengatasi
persoalan. Dalam pelaksanaannya juga, praktik-praktik kecurangan (terpaksa)
dilakukan secara terbuka sehingga siswa telah diajari melakukan kebohongan. Ini bertolak belakang dengan
pendidikan karakter yang selalu didengung-dengungkan pemerintah
2) Pembiayaan Pendidikan
Biaya
pendidikan yang semakin mahal membuat masyarakat kewalahan menyekolahkan
anak-anaknya. Sehingga banyak anak putus sekolah karena keterbatasan dana.
Lihatlah, sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31, 05 anak SD putus
sekolah setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Padahal sudah ada anggaran
pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Namun, persoalannya, anggaran ini
dikorupsikan dan penggunaannya tidak tepat sasaran.
3) Fasilitas Pendidikan
Bagaimana pun
juga, fasilitas sangat menentukan kualitas pendidikan. Bagi
sekolah-sekolah/kampus elite di perkotaan, barangkali fasilitasnya sudah
memadai. Tapi, tidak bisa dimungkiri masih banyak sekolah-sekolah/kampus yang
tidak memiliki fasilitas yang memadai. Sebagai contoh, sebanyak 70 persen dari
12.000 SD swasta dan negeri di wilayah Sumatera Utara belum memiliki
perpustakaan. Sangat memprihatinkan.
4) Pemerataan Pendidikan
Pemerataan
pembangunan tampaknya belum optimal. Pendidikan di wilayah Indonesia bagian
Timur masih jauh ketinggalan dengan bagian Barat. Juga, kesenjangan pendidikan
antara desa (pinggiran) dengan perkotaan terlihat jelas. Di daerah tertentu,
masih ada kecamatan yang tidak memiliki SMA. Jangankan antara desa dengan kota,
di perkotaan saja sangat jelas terlihat kesenjangan pendidikan
5) Kualitas Guru Dan Dosen
Satu langkah
baik ketika pemerintah berupaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik.
Dikeluarkannya UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah maju.
Hanya, ini bukan jaminan melahirkan guru dan dosen yang profesional. Buktinya,
masih banyak keluhan dari berbagai pihak, soalnya guru dan dosen yang telah
menerima sertifikat pendidik ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar yang
baik.
Pendidikan
merupakan sebuah sistem, dimana sub-sub sistemnya terdiri dari : Guru (Dosen),
murid/mahasiswa, pemerintah, lembaga pendidikan dan orang tua. Dimana sub
sistem utamanya adalah: Guru(Dosen), murid/mahasiswa dan lembaga pendidikan.
Sedangkat sub sistem lainnya merupakan sub sistem pendukung. Teori sistem
menyebutkan, apabila terganggu salah satu subsistemnya maka terganggu pula
sistemnya. Kekuatan sebuah sistem terletak pada titik lemah sub sistemnya.
Sekarang subsistem mana yang lemah atau yang masih bermasalah dalam sistem
pendidikan kita? Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa subsistem yang
terganggu terutama adalah guru (dosen) yang masih jauh dari harapan. Indonesia
butuh tenaga pendidik, bukan tenaga pengajar.
Seorang
pendidik pasti pengajar, tapi seorang pengajar belum tentu pendidik. Justru
yang berkeliaran di lembaga lembaga pendidikan, mulai dari SD s.d. Perguruan
Tinggi kebanyakan tenaga tenaga pengajar. Pengajar fokusnya hanyalah kearah
kognitif, mengejar kecerdasan intelektual saja, sedangkan kecerdasan lain terabaikan,
maka output pendidikan nasional kita hanyalah, manusia-manusia pintar, tapi
tidak berakhlak, tidak mandiri, malas dan tak jujur. Artinya, orang pintar tapi
tidak punya karakter. Kondisi ini tentu harus diperbaiki, harus dirubah dan
yang paling utama diperbaiki adalah mutu guru (dosen). Sehebat apapun kurikulum
dan program program pelatihan, jika guru dan instrukturnya tidak bermutu, maka
hasilnya tetap saja tidak bermutu.
Menurut ahli
pendidikan dan psikologi, justru jenjang pendidikan dasar, merupakan kunci dari
keberhasilan proses pendidikan. Kalau pendidikan dasarnya kuat diyakini
outputnya akan baik dan sebaliknya jika pendidikan dasarnya lemah tentu mutu
outputnya akan lemah. Dinegeri negeri maju justru pada tingkat dasar ini yang
menjadi perhatian serius, dimana guru guru nya, berpredikat master dan ada yang
profesor. Saya masih ingat diperusahaan Caltex tahun 60an dan 70an, guru TK, SD
dan SMP adalah para master dan ada yang profesor. Tentu di Indonesia belum
demikian, masih gengsi, masa master mengajar di TK dan SD. Pertanyaan
sekarang adalah, sampai kapan kondisi pendidikan kita khususnya kualitas guru
dan dosen masih seperti ini? Kesannya kita tidak serius membenahinya, walaupun
pemerintah selalu mengatakan sedang kita benahi dengan program program yang
melangit, tidak membumi. Mari kita serius, dengan niat baik memperbaiki citra
pendidikan kita pada umumnnya melalui langkah utamanya adalah membenahi guru
dan dosen. Jangan sembarangan menerima guru dan dosen, harus selektif dan yang
betul betul berjiwa pendidik, bukan hanya pengajar.
6) Perkembangan Peserta Didik
Banyak peserta
didik yang menganggap sekolah adalah penjara. Bukan tidak punya alasan,
kebanyakan siswa tersebut merasa tidak bebas di dalam sekolah karena mereka
mendapatkan tekanan psikologis dan fisik. Ruang berkreativitas tertutupi dengan
adanya kebijakan-kebijakan yang menekan. Dalam pengajaran juga, komunikasi satu
arah (monologis) membuat siswa bosan karena suasana belajar tidak
menggairahkan. Keadaan yang seperti ini sudah pasti memengaruhi perkembangan
peserta didik.
7) Mutu Pendidikan
Tidak sedikit
siswa dan mahasiswa Indonesia yang memenangi olimpiade internasional. Selain
itu, dalam pelaksanaan UN, semakin tinggi angka kelulusan siswa. Mungkin
pemerintah bias saja mengklaim bahwa itu prestasi yang membanggakan. Tapi itu
tidak bias dijadikan parameter mengukur mutu pendidikan kita. Bila
dibandingkan Malaysia, pendidikan kita sudah jauh ketinggalan. Negara yang
pernah berguru dengan Indonesia tahun 1970-an ini, kini menjadi guru. Mahasiswa-mahasiswa
Indonesia pun belajar ke sana. Kemajuan pendidikan di Malaysia tidak terlepas
dari tujuan pendidikannya yang jelas dan terarah, dikenal dengan rumusan
Malaysia Vision 2020 yang dirumuskan sejak 1980-an. Lantas, bagaimana dengan
tujuan pendidikan kita? Sepertinya kabur dan tak terarah.
Faktor – faktor yang mepengaruhi mutu pendidikan di indonesia:
o Pembelajaran
Hanya Pada Buku Paket
Di Indonesia telah berganti beberapa
kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama
dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran
di sekolah-sekolah? “TIDAK”. Karena pembelajaran di sekolah
sejak jaman dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak era 60-70an,
Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun
kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket.
Materi dalam buku paketlah yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru
Tidak pernah mencari sumber refrensi lain sebagai acuan belajar.
o Pembelajaran
Dengan Metode Ceramah
Metode pembelajaran yang menjadi
favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu
mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode
ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah
metode yang benar-benar di kuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak
anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya
melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa
seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin
hanya satu alasannya, yaitu Biaya
o Kurangnya Sarana Belajar
Sebenarnya, perhatian pemerintah itu
sudah cukup, namun masih kurang cukup. Pemerintah yang semangat memberikan
pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan
yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan
metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan hanya berupa Ocehan belaka.
o Peraturan
Yang Terlalu Mengikat
Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai
dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS
yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan
kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual
bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan
kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu”
guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru
lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator,
fasilitator, dan lainnya
o Guru Tidak
Menanamkan Soal “Bertanya”
Lihatlah pembelajaran di ruang
kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja,
mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan
mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang
menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan
guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK
untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa
tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa
tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya.
Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
o Metode
Pertanyaan Terbuka Tidak Dipakai
Salah satu ciri negara FINLANDIA
yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian
guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku.
Sedangkan Di Indoneisa? tidak mungkin, guru pasti sudah berfikir, “nanti banyak
yang nyontek dong,” begitu kata seorang guru. Guru Indonesia belum siap
menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka
seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda,
menilainya mudah, begitu kira-kira alasan guru sekarang.
o Fakta
Tentang Menyontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi.
tapi, guru tidak akan lelah untuk memperingatkannya, Tapi apakah kalian tahu
kalau “guru juga menyontek” ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti
guru, tes pegawai negeri yang di ikuti guru, menyontek telah merasuki sosok
guru. guru aja menyontek apalagi siswanya.
F.
Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan (Kemdiknas): "Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Sejalan dengan itu, pada periode 2010-2014, Kementerian
Pendidikan Nasional menetapkan visi Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan
Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif. Insan Indonesia
cerdas komprehensif adalah insan yang cerdas spiritual, cerdas emosional,
cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Sebagai organisasi yang berkedudukan di bawah Kementerian
Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar bertugas menjabarkan
visi dan misi Kementerian Pendidikan Nasional di atas, baik saat perumusan dan
atau pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pendidikan dasar.
Dengan demikian, secara umum tujuan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar adalah
Menjamin Terselenggaranya Layanan Pendidikan Dasar untuk Bangsa Indonesia
secara Prima.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di tengah kebobrokan
dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi
atas retorika politik, dan perilaku keseharian yang tanpa peduli sesama,
pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis religius menjadi relevan untuk
diterapkan. Pendidikan karakter ala foerster yang berkembang pada awal abad
ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan
kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang
dipelopori oleh filusuf Prancis Auguste Comte.
Tradisi pendidikan di
Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai
kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir
kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum
menjadi habitus. Kebanyakan guru hanya mengajarkan apa yang harus dihafalkan.
Mereka membuat peserta didik menjadi “beo” yang dalam setiap ujian cuma
mengulangi apa yang dikatakan guru. Jika kita melihat sejarah, ternyata sikap
pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dipengaruhi oleh gelombang
budaya positivisme yang lahir dari rahim kapitalisme yang mengakibatkan
terjadinya degradasi fakultas kritis para peserta didik. Akibatnya peserta
didik hanya akan menerima apa adanya, tanpa reserve,
dan tanpa kritik. Mirisnya lagi, dunia pendidikan kita masih sibuk berkutat
dengan problematika internalnya seperti penyakit dikotomi, profesionalitas
pendidiknya, sulit meratanya pendidikan, sistem pendidikan yang masih lemah,
pendidikan dikomersialisasikan dan sebagainya.
Dunia pendidikan kita
sepertinya telah melupakan tujuan utama pendidikan, karena dilihat dari semakin
menyimpangnya dari tujuan pendidikan. Kita ketahui bahwa problematika
pendidikan merupakan suatu kendala yang akan menghambat dan menghalangi
tercapainya tujuan pendidikan. Kita ambil saja salah satu kebijakan yaitu
sistem Ujian Nasional (UN); suatu kebijakan yang sudah menjadi kontroversi.
Dengan adanya kebijakan bahwa tolak ukur kelulusan ditentukan hanya dari nilai
UN tanpa melihat sebuah proses dan nilai lain, maka pendidikan telah dijadikan
layaknya sebuah mesin yang hanya mencetak para peserta didik yang pintar tapi
tidak bermoral dan pragmatis yang kemudian menjadi para penganggur. Sehingga,
kebijakan UN ini sangat bertentangan sekali dengan wacana pendidikan berbasis
karakter dan budaya.
Kemudian
aksesibilitas pendidikan yang ternyata sangat sulit dilakukan hingga ke
pelbagai pelosok di Indonesia. Menurut Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X
DPR RI), -sewaktu penulis berdiskusi dengan beliau pada hari kamis (3/5)- bahwa
sulitnya pemerataan pendidikan disebabkan 2 kondisi; pertama, kondisi fisik
Indonesia yang secara geografis mempunyai sekitar 17.000 pulau, sehingga
aksesibilitas pendidikan sulit merata. Kedua, kondisi non fisik yang tentunya
dilihat dari sistem pendidikan di Indonesia yang masih lemah. Banyak juga para
pejabat dalam sektor pendidikan yang tidak dan bukan orang yang menguasai
pendidikan. Sehingga kita bisa lihat faktanya, bahwa pendidikan kita telah
keluar dari jalan yang sebenarnya bahkan kehilangan arah.
Jika kita lihat
aksesibilitas pendidikan dari segi anggaran, yang faktanya banyak dana/anggaran
pendidikan yang tidak tepat sasaran dan entah masuk ke rekening siapa.
Faktanya, meskipun dibantu dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
menjadi sebuah tindakan solusi emergency,
masih banyak anak-anak miskin yang tetap tidak bisa mengenyam pendidikan dasar
dikarenakan tetap mahalnya biaya lain, seperti seragam sekolah yang
bermacam-macam yang harus dibeli dengan harga mahal, biaya buku dari sekolah
yang mahal pula dan sebagainya. Meskipun di sisi lain dana pendidikan yang
bayak dikorupsi, mungkin itulah yang menjadi kendala esensial krusial bagi
anak-anak miskin di Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar dan sekolah
menengah pertama. Yang mengejutkan lagi, anggaran pendidikan 20% dari APBN
ternyata bukan hanya masuk pada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja,
melainkan masuk ke-18 kementerian. Karena masing-masing kementerian mempunyai
kepentingan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
B.
Saran
o Penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional harus di tingkatkan lagi .
o Kepada masyarakat agar ikut
berpartisifasi dalam memajukan pendidikan di indonesia.
o Kepada pemerintah diharapkan agar
dalam pembuatan sistem pendidikan nasional ini hendaknya melibatkan pihak
- pihak yang dapat ikut dalam memajukan pendidikan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Depdikbud. 1989. UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional beserta penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka.
2. http://www.fajar.co.id/read-20120531231304-pemerataan-dan-keadilan-dalam-pendidikan
3. http://superthowi.wordpress.com/2012/03/18/perkembangan-peserta-didik/
4. file:///C:/Documents%20and%20Settings/Ulla/My%20Documents/Unduhan/digital_blob_F6847_Kualitas%20Guru%20dan%20Dosen%20di%20Indonesia.htm
7. http://sanggarseo.blogspot.com/2011/11/kebijakan-pendidikan-indonesia-prosedur.html
8. http://niesya07.wordpress.com/category/pembiayaan-pendidikan/
9. http://kaukustujuhbelas.org/baca/13550/Kebijakan-Pendidikan-di-Indonesia.html?lang=id
10. http://adesuherman.blogspot.com/2011/10/pembiayaan-pendidikan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar